BerandaKlinikKenegaraanPerlukah UU Ratifika...KenegaraanPerlukah UU Ratifika...KenegaraanRabu, 22 Mei 2019Rabu, 22 Mei 2019Bacaan 5 MenitJika ada perjanjian yang sudah diratifikasi dari konvensi internasional, lalu konvensi tersebut diamandemen, apakah UU yang meratifikasi konvensi internasional tersebut harus diubah juga? Sebaliknya, jika perubahan tersebut masih sejalan dengan dasar-dasar dan ideologi bangsa dan memenuhi kriteria maka undang-undang ratifikasinya tidak perlu diubah. Hal ini disebabkan karena perubahan terhadap undang-undang memerlukan tahapan yang tidak sederhana dan cenderung memakan waktu yang lama. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Ratifikasi Perjanjian InternasionalPerlu tidaknya perubahan terhadap undang-undang ratifikasi yang konvensi aslinya diubah adalah tergantung dari materi yang terdapat dalam perubahan konvensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berartipengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi ratification, aksesi accession, penerimaan acceptance dan penyetujuan approval.Adapun yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.[1]Terdapat dua bentuk ratifikasi yakni pengesahan menggunakan undang-undang dan pengesahan menggunakan keputusan presiden. Jika menggunakan pengertian ini maka semua perjanjian internasional memerlukan ratifikasi/pengesahan ke dalam hukum nasional. Ratifikasi dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional “KW 1969” adalah persetujuan atau konfirmasi kesediaan untuk diikat oleh perjanjian hukum internasional, menurut Sefriani dalam bukunya Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer ratifikasi bukan merupakan pengesahan tetapi persetujuan, konfirmasi, kesediaan Negara untuk tunduk consent to be bound dan diikat oleh suatu perjanjian internasional.[2]Jadi dengan meratifikasi sebuah perjanjian internasional berarti Indonesia bersedia terikat dan menerima hak dan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang fundamental. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “UUD 1945” yang menyebutkan bahwaPresiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan tersebut memang tidak menjelaskan proses pengesahan secara eksplisit, namun yang dijelaskan lebih pada prasyarat ratifikasi melalui undang-undang dalam hal menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. jika prasyarat ini terpenuhi maka Presiden memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” untuk dijelaskan lebih terperinci dalam Pasal 10 UUPI bahwaPengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan denganmasalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.;kedaulatan atau hak berdaulat Negara;hak asasi manusia dan lingkungan hidup;pembentukan kaidah hukum baru;pinjaman dan/atau hibah luar terhadap perjanjian internasional yang tidak mengatur hal-hal pada pasal tersebut, maka tidak diperlukan ratifikasi menggunakan undang-undang terhadapnya, ratifikasi cukup dilakukan melalui Keputusasn Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UUPI, yakniPengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018, kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan DPR diperluas dengan ditambahkan area perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Lalu putusan ini dapat juga dikatakan mempersempit lingkup ratifikasi dalam bentuk undang-undang karena tidak semua jenis perjanjian harus memperoleh persetujuan masuk dalam kategori sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPI, masih perlu dilihat apakah perjanjian tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara atau tidak. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mendasarkan pada semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidak diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian internasional yang dianggap penting Undang-Undang Ratifikasi Diubah Jika Perjanjian Internasional Berubah?Maka dari itu menjawab pertanyaan Anda, perlu diperhatikan terlebih dahulu perihal materi apa yang diatur dalam perubahan konvensi internasional tersebut. Apakah perubahan konvensi tersebut mengatur perihal hal-hal yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUPI dan Putusan a quo Mahkamah Konstitusi. Jika terhadap perubahan konvensi internasional bertentangan dengan berbagai aspek yang fundamental sebagaimana prasyarat dalam UUPI dan putusan MK maka perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang jika perubahan tersebut masih sejalan dengan dasar-dasar dan ideologi bangsa dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud UUPI dan Putusan MK maka undang-undang ratifikasinya tidak perlu diubah. Hal ini disebabkan karena perubahan terhadap undang-undang memerlukan tahapan yang tidak sederhana dan cenderung memakan waktu yang lama. Terhadap perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori berdampak luas maka dalam pengesahannya hanya diperlukan keputusan presiden jawaban dari kami, semoga HukumKonvensi Wina 1969 tentang Perjanjian 2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer . Jakarta Rajawali Pers.[2] Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer Rajawali Pers Jakarta, 2016 hlm. 102Tags
Sepertiyang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh . oral agreement
Disarikan oleh Rozy Fahmi, SH., MH Founder & Partner RFA Law Office Perjanjian internasional mengandung suatu tujuan yang hendak dicapai secara kolektif oleh para pihak, baik perjanjian internasional yang ruang lingkupnya bilateral maupun multilateral. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya sengketa atau perselsihan terkait perjanjian internasional, maka perlu adanya asas-asas dalam hukum perjanjian internasional. Mengenai asas-asas tersebut, terkandung dalam VCLT 1969 1969, antara lain Asas Free Consent. Asas free consent merupakan perkembangan dari asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas ini, maka setiap proses perundingan harus disepakati berdasarkan kebebasan para pihak untuk menyatakan kehendaknya. Perjanjian internasional yang tidak didasarkan pada asas kesukarelaan ini, atau jika didasarkan pada tekanan-tekanan, maka akan dapat menimbulkan akibat hukum seperti batal void ataupun tidak sahnya perjanjian tersebut.[1] Asas Itikad Baik Good Faith. Asas itikad baik merupakan asas yang sudah harus menjadi perhatian sejak pendekatan-pendekatan informal dari para calon pihak peserta perjanjian. Pendekatan-pendekatan informal ini yang kemudian berlanjut menjadi pendekatan-pendekatan formal berupa perundingan, penerimaan, pengotentikan, pengikatan diri, pemberlakuan, pelaksanaan, hingga berakhirnya perjanjian inetrnasional. Asas itikad baik ini dapat tercermin dari setiap praktek para pihaknya, bahkan sebelum perjanjian internasional tersebut mulai berlaku.[2] Pacta Sunt Servada. Asas yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat menjadi undang-undang bagi yang membuatnya. Asas ini menjadi asas yang paling fundamental dalam sebuah perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian, termasuk perjanjian internasional dan melandasi dilaksanakannya perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Tanpa adanya janji-janji yang telah disepakati tidak akan lahir perjanjian. Perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana janji-janji yang diberikan oleh para pihak.[3] Asas Pacta Tertulis Nec Nocent Nec Prosunt. Asas ini terlihat secara eksplisit pada Pasal 34 VCLT 1969 1969 yang berbunyi “A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent”. Berdasarkan asas ini, maka setiap hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional hanya mengikat para pihak pembuatnya yang dengan kata lain tidak menimbulkan baik hak maupun kewajiban pada pihak ketiga, kecuali pihak ketiga yang bersangkutan menyetujui. Asas ini terkait dengan asas pacta sunt servanda yang secara linear terkait dengan asas free consent, yakni setiap pihak peserta perjanjian internasional haruslah menyepakatinya, dan bukan hanya menyepakati, tetapi juga menyepakati secara sukarela.[4] Perjanjian internasional yang tanpa persetujuan pihak ketiga tetapi melahirkan hak ataupun kewajiban kepada negara pihak ketiga tersebut, maka telah melanggar asas free consent. Asas Non-Retroactive. Asas non-retroactive menyatakan bahwa suatu kaidah hukum tidak dapat berlaku surut. Pada Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, asas non-retroactive diatur pada Pasal 28 yang berbunyi “Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to that party”. Berdasarkan pasal tersebut, asas non-retroactive tidaklah bersifat mutlak. Akan tetapi ketidakmutlakan tersebut secara mutlak memerlukan kesepakatan yang dibangun oleh para pihak peserta perjanian internasional. Sehingga, asas non-retroactive juga merupakan asas yang selalu terkait dengan asas itikad baik dan asas free consent, yaitu bahwa kesepakatan mengenai berlaku surut atau tidaknya suatu perjanjian internasional harus berdasarkan kehendak sukarela yang termanifestasikan dalam perjanjian yang dimaksud. Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 28 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional tersebut dikatakan bahwa “If, however, an act or fact or situation which took place or arose prior the entry into force of a treaty continues to occur or exist after the treaty has come into force, it will be caught by the provisions of the treaty”. Berdasarkan penjelasan tersebut maka muncul perdebatan mengenai kapan tepatnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku. Hal ini terkait bahwa istilah “come into force” yang berarti lahirnya kekuatan mengikat berbeda dengan istilah “enter into force”. Jika tidak ditentukan lain, maka suatu perjanjian “enter into force” bersamaan dengan pada saat perjanjian internasional tersebut memperoleh daya mengikat “come into force”.[5] Bagi suatu negara seperti Indonesia, suatu perjanjian internasional menjadi berlaku ketika sudah diratifikasi, yang tanggal ratifikasi tidak selalu sama dengan tanggal lahirnya kekuatan mengikat. Asas Rebus Sic Stantibus. Asas rebus sic stantibus merupakan asas yang memberi kemungkinan bagi negara yang mengalami perubahan drastis fundamental change of circumstances untuk melakukan penarikan diri dari suatu perjanjian internasional. Kemungkinan penarikan diri tersebut terkait dengan bahwa jika tetap mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut maka akan membahayakan eksistensi negara tersebut. Pemberlakuan asas rebus sic stantibus ini kemudian akan menyinggung penerapan asas pacta sunt servanda. Bahwa negara yang akan memanfaatkan asas rebus sic stantibus kemudian akan mengggerus kekuatan asas pacta sunt servanda.[6] Namun demikian pada Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional telah diatur mengenai mekanisme pengunduran diri sebagaimana tercantum pada Pasal 54 yang mengatakan bahwa untuk dapat mengundurkan diri maka harus mengukuti cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan, atau dengan cara mendapat persetujuan dari seluruh pihak peserta perjanjian internasional yang bersangkutan. Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internsional juga telah mengaturnya sendiri pada bagian Amendment and Modification of Treaties. Bagian tersebut mengatur mengenai perubahan perjanjian internasional. Sehingga penggunaan asas rebus sic stantibus juga dapat diakomodir melalui mekanisme amandemen jika dimungkinkan sebelum suatu negara dapat melakukan pengunduran diri karena alasan perubahan drastis yang mengharuskannya. Asas Reciprositas. Adalah asas yang menyatakan bahwa tindakan suatu Negara terhadap Negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat positif maupun negatif. Asas ini berkembang dalam perkembangan hukum internasional karena ketiadaan otoritas yang dapat memaksakan kehendak dalam inisiatif pembuatan perjanjian internasional, sehingga perjanjian yang dibuat harus memiliki keseimbangan timbal balik.[7] Pada Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, asas resiprositas tercermin pada Pasal 60 mengenai pengakhiran perjanjian internasional dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian. Penggunaan asas timbal balik merupakan hal yang umum misalnya dalam perjanjian-perjanjian mengenai tarif dan hak cipta. Ius Cogens Ius cogens merupakan ketentuan-ketentuan pendahulu preemptory rules yang dianggap sebagai ketentuan yang bersifat fundamental sebagai landasan keteraturan publik secara internasional. Ide mengenai ius cogens dikemukakan oleh Grotius yang awalnya merupakan konsep ius strictum yang selanjutnya berkembang oleh aliran natural law.[8] International Law Commission memasukkan konsep ius cogens ke dalam VCLT 1969 1969 pada Pasal 53 “A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”. Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional tersebut mengaskan bahwa suatu perjanjian internasional akan void apabila bertentangan dengan ius cogens dan juga menekankan bahwa terhadap ius cogens tersebut tidak dapat dilakukan derogation. Adapun yang termasuk sebagai ius cogens berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh International Law Commission adalah[9] pelanggaran serius terhadap hukum yang mengatur kedamaian dan keamanan; pelanggaran serius terhadap hak untuk menentukan diri sendiri self determination; pelanggaran serius terhadap kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia; pelanggaran serius kewajiban untuk melindungi lingkungan. Terhadap kejahatan-kejahatan tersebut maka muncul kewajiban erga omnes yaitu bahwa setiap negara berkewajiban mengadili para pelaku kejahatan tersebut karena telah mengganggu tatanan kehidupan global. Oleh karena itu, Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional bukan hanya mengatur bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ius cogens, tetapi juga secara definitif memandatkan kepada setiap negara suatu pengakuan atas keberadaan kejahatan lintas negara yang pada akhirnya memberi kewajiban erga omnes pada setiap negara. [1] I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, 2005, Hal. 262 [2] Ibid [3] Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 21 Nomor 1, Februari 2009, Hal. 157 v [4] I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Hal. 262 [5] Budiono Kusumohadidjojo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, Hal. 13 [6] Ibid, Hal 17 [7] Francesco Parisi dan Nita Ghei, The Role of Reciprocity in Internatinal Law, dari diakses pada hari Minggu 15 Januari 2017 [8] Alina Kaczorowska, Public International Law, Old Bailey Press, London, 2002, Hal. 32 [9] Ibid, Hal. 33
2 Konvensi Jenewa yang disepakati dan ditanda tangani oleh berbagai negara pada tahun 1949. Konvensi Jenewa berisi hukum mengenai perlindungan para korban perang. 3. Konvensi wina yang telah diselenggarakan dan disahkan oleh berbagai negara pada tahun 1961. Konvensi Wina berisikan tentang hubungan diplomatik antar berbagai negara di dunia.
ArticlePDF Available AbstractThe Convention on the Rights of the Child CRC is the most comprehensive human rights treaty and legal instrument for the promotion and protection of children’s rights. Unfortunately, while the other international human rights instruments ratified by Indonesia through an Act; CRC is the only international human rights instrument which ratified by Indonesia through a Presidential Decree. The CRC ratified by Indonesia through Presidential Decree Number 36 Year 1990. The use of a Presidential Decree as the instrument to ratify the CRC has delivered some critiques. This research examines the powers of the president on the formulation of the presidential decree on the ratification of the international legal instrument. In the second case, it analyses the position of the Presidential Decree Number 36 Year 1990 in the systems of laws and regulations in Indonesia. The findings of this study indicate that Indonesia has to consider the possibility of strengthening the instrument of ratification of the CRC from a Presidential Decree to an Act since in terms of its legal position, a Presidential Decree is not an appropriate instrument as the instrument of ratification of a treaty which subject matter involves human rights. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. RATIFIKASI KONVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIAZendy Wulan Ayu Widhi Prameswarizendy Airlangga AbstractThe Convention on the Rights of the Child CRC is the most comprehensive human rights treaty and legal instrument for the promotion and protection of children’s rights. Unfortunately, while the other international human rights instruments ratied by Indonesia through an Act; CRC is the only international human rights instrument which ratied by Indonesia through a Presidential Decree. The CRC ratied by Indonesia through Presidential Decree Number 36 Year 1990. The use of a Presidential Decree as the instrument to ratify the CRC has delivered some critiques. This research examines the powers of the president on the formulation of the presidential decree on the ratication of the international legal instrument. In the second case, it analyses the position of the Presidential Decree Number 36 Year 1990 in the systems of laws and regulations in Indonesia. The ndings of this study indicate that Indonesia has to consider the possibility of strengthening the instrument of ratication of the CRC from a Presidential Decree to an Act since in terms of its legal position, a Presidential Decree is not an appropriate instrument as the instrument of ratication of a treaty which subject matter involves human Convention on the Rights of the Child CRC; Children Rights; Powers of the President; Presidential Decree Number 36 Year Hak-Hak Anak adalah instrumen hukum HAM yang paling komprehensif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak. Sayangnya, sementara instrumen hukum HAM internasional lainnya diratikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang; Konvensi Hak-Hak Anak merupakan satu-satunya instrumen HAM internasional yang diratikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden. Konvensi Hak-Hak Anak diratikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Penggunaan Keputusan Presiden sebagai instrumen untuk meratikasi Konvensi Hak-Hak Anak telah melahirkan beberapa kritik. Isu hukum pertama dalam tulisan ini adalah mengenai kekuasaan Presiden dalam pembentukan Keputusan Presiden mengenai ratikasi instrumen hukum internasional. Sedangkan isu hukum kedua adalah berkaitan dengan posisi Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dalam sistem hukum dan peraturan di Indonesia. Berdasarkan analisis dalam tulisan ini, Indonesia harus mempertimbangkan kemungkinan diperkuatnya instrumen ratikasi Konvensi Hak-Hak Anak dari Keputusan Presiden menjadi Undang-Undang karena dalam hal posisi hukumnya, bentuk Keputusan Presiden adalah tidak tepat sebagai instrumen ratikasi suatu perjanjian internasional yang materinya berkaitan dengan Kunci Konvensi Hak-Hak Anak; Hak-Hak Anak; Kekuasaan Presiden; Keputusan Presiden No. 36 Tahun Wulan Ratikasi Konvensi Tentang 167Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 PendahuluanSecara umum dapat dikatakan bahnwa sebuah perjanjian internasional untuk dapat mengikat negara-negara peserta harus memerlukan rati Convention on the Rights of the Child Konvensi Hak-Hak Anak, selanjutnya disebut “CRC” adalah instrumen hukum HAM internasional yang paling komperehensif dan merupakan instrumen hukum untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak. CRC adalah konvensi pertama yang secara lengkap menjamin perlindungan hak-hak anak dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. CRC juga merupakan instrumen hukum internasional pertama yang secara eksplisit mengakui anak-anak sebagai pemilik aktif dari hak-hak mereka Konvensi ini mengatur standar-standar perlakuan, perawatan dan perlindungan terhadap semua CRC telah menempati posisi di garis pertumbuhan instrumen hukum HAM yang diadopsi oleh United Nations4 dan telah diratikasi oleh 196 Indonesia adalah Negara pihak dari beberapa instrumen hukum HAM internasional,6 termasuk CRC. Sayangnya, ketika instrumen hukum HAM internasional lainnya diratikasi oleh Indonesia melalui undang-undang, CRC adalah satu-satunya instrumen hukum HAM internasional yang diratikasi oleh Indonesia melalui keputusan presiden. CRC diratikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia 1 Harjono, Ratikasi Perjanjian Internasional’ 1993 VIII Yuridika.[29].2 UNICEF, The State of the World’s Children Special Edition UNICEF 2009.[2].3 ibid.[37].4 Hans-Joachim Heintze, The UN Convention And The Network Of The International Human Rights Protection By The UN [ 1992.M. Freeman; P. Veerman, The Ideologies Of Children’s Rights Kluwer Academic Publishers 1992.[71-78].5 United Nations, UN Treaty Collection Status of the Convention on the Rights of the Child’ United Nations Treaty Collection, 2012 .6 Diantaranya adalah the 1965 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination diratikasi dengan UU No. 29/1999, the 1966 International Covenant on Civil and Political Rights diratikasi dengan UU No. 12/2005, the 1966 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights diratikasi dengan UU No. 11/2005, the 1979 Conven-tion on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women diratikasi dengan UU No. 7/1984, the 1984 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment diratikasi dengan UU No. 5/1998, the 2000 Convention against Transnation-al Organized Crime diratikasi dengan UU No. 5/2009, the 2000 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafcking in Persons, Especially Women and Children diratikasi dengan UU No. 14/2009, the 2000 Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air diratikasi dengan UU No. 15/2009.168 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 No. 36 Tahun 1990 selanjutnya disebut KepPres No. 36/1990.Penggunaan Keputusan Presiden sebagai instrumen untuk meratikasi CRC telah melahirkan beberapa kritik tersendiri. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selanjutnya disebut UU No. 12/2011, istilah keputusan presiden tidak ada di dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Faktanya, istilah keputusan presiden di dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dihapus sejak pemberlakuan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan selanjutnya disebut UU No. 10/2004. Sampai saat ini CRC mempunyai 3 tiga Protokol Opsional. Pada tahun 2012, Indonesia telah meratikasi dua Protokol Opsional melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conict dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child ontThe Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography. Sayangnya UU No. 9/2012 dan UU No. 10/2012 tidak bisa mencantumkan KepPres No. 36/1990 di dalam konsiderans karena kedudukan keputusan presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia lebih rendah dari undang-undang. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, isu hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut Kekuasaan Presiden dalam pembentukan Keputusan Presiden mengenai ratikasi instrumen hukum internasional dan Kedudukan Keputusan Presiden No. 36/1990 dalam sistem peraturan perundang-undangan di masalah dalam tulisan ini dilakukan dengan menggunakan statute approach, conceptual approach serta historical approach. Statute Approach digunakan untuk menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional. Conceptual approach digunakan untuk mengkaji konsep Keputusan Presiden dan perjanjian internasional. Sedangkan historical approach digunakan terutama untuk 169Zendy Wulan Ratikasi Konvensi Tentang secara singkat mengkaji perkembangan hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Keputusan Presiden Mengenai Ratikasi Instrumen Hukum InternasionalBerdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 sebelum perubahan, Presiden Negara RI adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam arti eksekutif dan sekaligus pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dalam arti legislatif dengan persetujuan Perubahan UUD 1945 membawa dampak yang besar terhadap sistem pemerintahan di negara RI. Setelah perubahan UUD 1945, Presiden negara RI adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam arti eksekuti dan kekuasaan membentuk undang-undang dalam arti kekuasaan legislatif bersama Pasal 4 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945. Pasal tersebut merupakan salah satu pasal yang tidak mengalami perubahan oleh MPR. Dengan demikian, setelah perubahan UUD 1945, Presiden RI adalah tetap sebagai penyelenggara tertinggi dari pemerintahan negara penyelenggara pemerintahan, Presiden RI dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan, mulai dari pembahasan menimbang, pasal per pasal hingga ketentuan Hal tersebut disebabkan Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di Indonesia. Fungsi pengaturan tersebut terlihat dalam UUD 1945 sebagai berikut 1 Pembentukan undang-undang bersama DPR, tercantum di Pasal 20 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4; 2 Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu, tercantum di Pasal 22 ayat 1; 3 Keputusan Presiden, berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa Presiden dengan 7 Soeprapto dan Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan I Kanisius 2007.[112].8 ibid.[129].9 Ni Ketut Apriliawati, Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Dasar Ratikasi Perjanjian Internasional Yang Bersifat Multilateral’ 2015 30 Yuridika .[112].10 ibid.[133].170 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut terletak dalam Bab III mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara. Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan Presiden dalam Pasal 11 merupakan konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Pasal 11 tersebut tidak dibedakan jenis perjanjian yang dibuat Presiden dengan negara Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan juga tidak menyebut adanya unsur lain kecuali bahwa perjanjian tersebut dilakukan dengan negara terdapat penjelasan mengenai apakah yang dimaksud dengan frase “dengan persetujuan DPR”. Tidak jelas juga apakah Presiden meminta persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian dengan negara lain, ataukah Presiden membuat perjanjian lebih dahulu baru meminta persetujuan kepada DPR. Dalam hal ini, karena Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan belum jelas maknanya dan menimbulkan pertanyaan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRGR kepada Presiden, yang inti pertanyaannya adalah “apakah yang dimaksud dengan Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain itu adalah untuk seluruh perjanjian internasional?”.13 Melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960, Presiden Soekarno pada saat itu memberikan penafsiran tentang ruang lingkup substansi dari Pasal 11 UUD rumusan Pasal 11 UUD 1945 dirubah, telah lahir UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri selanjutnya disebut UU No. 37/1999 dan UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional selanjutnya disebut UU No. 24/2000 terlebih dahulu. Pasal 6 ayat 1 UU No. 37/1999 menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Pemerintah RI berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan DPR. UU No. 24/2000 merupakan pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945 11 Harjono Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional Bina Ilmu 1999.[10].12 ibid.[18].13 I Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis Dan Praktis Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional’ 2008 5 Jurnal Hukum Internasional.[460-487].171Zendy Wulan Ratikasi Konvensi Tentang sebelum perubahan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Ketentuan Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang secara tegas mendenisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001 diputuskan ayat 2 dan 3, sedangkan ayat 1 yang merupakan Pasal 11 lama diputuskan pada perubahan keempat tahun 2002 dengan mengubah penomoran, yakni semula Pasal 11 menjadi Pasal 11 ayat 1. Rumusan Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 setelah perubahan menimbulkan catatan tersendiri, terutama pada frase “perjanjian internasional lainnya”. Frase tersebut tidak jelas maknanya. Apakah dalam hal ini, Pasal 11 UUD 1945 setelah perubahan membedakan antara yang dimaksud dengan “perjanjian dengan negara lain” yang tercantum dalam ayat 1 dengan “perjanjian internasional lainnya” yang tercantum dalam ayat 2 masih belum jelas Presiden Republik Indonesia No. 2826/Hk/1960 sebagai Pedoman Pemerintah dan DPR dalam Pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam Hukum IndonesiaSurat Presiden Republik Indonesia No. 2826/Hk/1960 pada hakekatnya merupakan pendapat atau penafsiran dari Presiden atau Pemerintah tentang ruang lingkup substansi dari Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan. Hal ini disebabkan bahwa isi dari surat tersebut jelas merupakan perwujudan dari pendapat atau pandangan Presiden. Surat ini dianggap menjawab pertanyaan tentang makna Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan, mengenai apakah setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden dengan negara lain harus mendapat persetujuan dari UU No. 24 Tahun I Wayan Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 Berdasarkan materi yang dituangkan dalam Surat Presiden No. 2826/Hk/1960, tersirat bahwa persetujuan dengan negara lain memiliki 2 dua bentuk. Bentuk pertama adalah treaty atau traktat, dan yang kedua adalah agreement atau perjanjian Maksud dari Surat Presiden ini adalah membedakan persetujuan dengan negara lain berdasarkan kriteria materi perjanjian sehingga dapat menyaring perjanjian-perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR. Namun, Surat Presiden ini menggunakan nomenklatur “treaty” atau “traktat” dan “agreement” atau “perjanjian-perjanjian lain”. Seperti yang dikemukakan oleh Aust,17 bahwa secara teoritis dan praktis, nomenklatur suatu instrumen internasional tidak bisa digunakan sebagai penentu status hukum instrumen tersebut. Yang paling menentukan adalah isi atau materi dari instrumen tersebut. Sebagai sebuah surat dari satu lembaga negara yang ditujukan kepada lembaga negara lainnya, secara yuridis formal Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/Hk/1960 tidak memiliki sifat dan hakikat sebagai hukum positif. Bahkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada istilah “Surat Presiden”. Walaupun Surat Presiden ini tidak secara tegas menentukan bentuk hukum atau bentuk peraturan perundang-undangan mengenai pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia, apakah dalam bentuk undang-undang atau keputusan presiden, dalam perkembangan dan praktiknya Surat Presiden ini dijadikan sebagai pegangan oleh Pemerintah maupun DPR dalam memberlakukan mengesahkan dan mengundangkan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia. Lebih konkrit, perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR akan diberlakukan dengan undang-undang, sedangkan perjanjian internasional yang tidak membutuhkan persetujuan DPR akan diberlakukan dengan Keputusan praktiknya, Surat Presiden ini ternyata memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pihak Presiden daripada DPR dalam pengikatan diri negara Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional maupun dalam pemberlakuannya 16 Harjono Soeprapto dan Maria Farida I Wayan Wulan Ratikasi Konvensi Tentang ke dalam hukum nasional Indonesia. Akibatnya, cukup banyak perjanjian-perjanjian internasional yang seharusnya berdasarkan Surat Presiden tersebut akan diberlakukan dengan undang-undang, dalam artian harus mendapat persetujuan DPR, ternyata diberlakukan dengan keputusan presiden yang dalam hal ini tanpa persetujuan DPR. Hal tersebut berlangsung selama kurang lebih 40 empat puluh tahun, dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2000, tepatnya sampai diundangkannya UU No. 24/ perbedaan pendapat oleh beberapa kalangan mengenai status hukum Surat Presiden ini apakah bisa dimasukkan dalam kategori konvensi atau tidak. Menurut Harjono, praktik pembuatan perjanjian internasional yang mendasarkan pada Surat Presiden No. 2826/Hk/1960 belum memenuhi unsur untuk dapat dikatakan sebagai sebuah konvensi. Harjono berpendapat, praktik tersebut masih didasarkan kemudahan saja, tingkatannya belum sampai pada sebuah konvensi, namun hanya kebiasaan saja yang belum mempunyai nilai normatif. Secara materiil, Surat Presiden tersebut merupakan penafsiran Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen oleh Presiden. Menurut Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen, UUD 1945 merupakan bentuk Ketetapan MPR. Sedangkan menurut Pasal 4 b TAP MPR No. I/MPR/1983, yang berwenang menafsirkan ketetapan-ketetapan MPR adalah MPR sendiri. Oleh karena itu, Surat Presiden tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. I/MPR/ sisi lain, A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa ketika Republik Indonesia kembali kepada UUD 1945, masalah apakah pengesahan atau ratikasi perjanjian internasional harus dilakukan dengan undang-undang atau cukup dengan keputusan presiden, telah “terselesaikan” dengan timbulnya konvensi ketatanegaraan sebagai akibat adanya Surat Presiden No. 2826/HK/1960. Pendapat A. Hamid S. Attamimi tersebut dikuatkan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum, Departemen Kehakiman pada saat 19 ibid.[77-80].21 Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum, Departemen Kehakiman, Himpunan Peraturan-Peraturan Bentuk Perundang-Undangan Republik Indonesia,1972.[76]; A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV Universitas Indonesia 1990.[244].174 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 Terlepas Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tersebut merupakan suatu konvensi atau tidak, namun Surat Presiden No. 2826/Hk/1960 tersebut dalam praktiknya telah banyak digunakan sebagai konsiderans yang memuat unsur yuridis dari undang-undang ataupun keputusan presiden tentang pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia. Salah satu contohnya adalah konsiderans dari KepPres No. 36/1990. Dalam konsiderans KepPres No. 36/1990, huruf e dinyatakan bahwa menimbang unsur-unsur yang telah terlebih dahulu disebut dalam huruf a sampai d dan sesuai dengan amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 Tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu mengesahkan CRC dangan Keputusan dengan pengesahan atau ratikasi CRC, CRC adalah instrumen internasional pertama yang mengikat secara hukum yang memuat berbagai macam hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial. Dengan menyetujui untuk terikat pada kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh CRC melalui ratikasi, pemerintah RI telah menunjukkan komitmennya untuk melindungi dan menjamin hak-hak anak dan telah menyetujui bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan komitmen mereka di hadapan masyarakat internasional. Sebagai negara pihak, Indonesia berkewajiban untuk mengembangkan dan mengambil semua tindakan dan kebijakan dalam rangka kepentingan terbaik bagi yang berkaitan dengan HAM merupakan bagian dari persoalan politik karena menempatkan Negara sebagai pelaku utama yang akan menerima komitmen internasional dalam melaksanakan kewajiban yang salah satunya adalah melalui reformasi hukum. Di samping itu, HAM juga akan mempengaruhi haluan politik luar negeri karena isu HAM merupakan salah satu isu yang strategis dalam hubungan Sehingga apabila memang Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dijadikan pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional dan dijadikan salah satu konsiderans dalam melakukan ratikasi 22 Yayasan Pemantau Hak Anak, Kertas Posisi Menyoal Landasan Hukum Ratikasi Hak Anak [ Wulan Ratikasi Konvensi Tentang terhadap CRC pada saat itu, maka bentuk ratikasi yang tepat terhadap instrumen internasional ini adalah dengan sebuah undang-undang, bukan dengan sebuah keputusan presiden. Hal ini disebabkan dalam melaksanakan politik luar negeri untuk kepentingan nasional, Pemerintah Indonesia harus melakukan berbagai upaya, termasuk diantaranya adalah dengan melakukan ratikasi terhadap instrumen internasional Perjanjian Internasional Menurut UU No. 24/2000UU No. 24/2000 lahir diantaranya adalah dengan pertimbangan bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan. Selain itu juga karena bahwa Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus yang selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat Berdasarkan Pasal 3 UU No. 24/2000, Pemerintah RI mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara yang diantaranya adalah melalui pengesahan. Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 24/2000, yang dimaksud “Pengesahan” adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratikasi ratication, aksesi accession, penerimaan acceptance dan penyetujuan approval. Denisi tersebut mengadopsi Pasal 2 ayat 1 huruf b Konvensi Wina 9 ayat 1 UU No. 24/2000 mengatur bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pada Pasal 9 ayat 2 ditentukan bahwa pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Dari penjelasan Pasal 9 ayat 2 dapat diketahui bahwa persetujuan DPR hanya diperlukan unutk pengesahan dengan undang-undang. Sedangkan pengesahan dengan keputusan presiden selanjutnya hanya diberitahukan 23 Huruf b dan c Konsiderans UU No. 10 Tahun Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 kepada DPR. Jika mendasarkan pada Pasal 2 ayat 1 huruf b Konvensi Wina 1969, maka sebenarnya ratikasi ratication; aksesi accession; penerimaan acceptance atau penyetujuan approval suatu perjanjian internasional adalah merupakan prosedur eksternal suatu negara dalam lingkup internasional karena sudah dinyatakan bahwa hal tersebut adalah the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty. Namun karena sering terjadi kebingungan oleh negara-negara mengenai prosedur eksternal dan prosedur internal yang mengatur tentang produk hukum untuk pemberlakuan perjanjian internasional tersebut dalam lingkup nasional, maka International Law Commission ILC menyatakan “..Since it is clear that there is some tendency for the international and internal procedures to be confused and since it is only the international procedures which are relevant in the international law of treaties, the Commission thought it desirable in the denition to lay heavy emphasis on the fact that it is purely the international act to which the terms ratication, acceptance, approval and accession relate in the present articles”.Namun ILC juga menegaskan bahwa untuk melaksanakan prosedur eksternal tersebut, suatu negara harus memenuhi prosedur Khusus berkaitan dengan ratikasi juga tidak ada aturan hukum internasional yang mengatur mengenai bentuk ratikasi walaupun yang dimaksud ratikasi menurut Pasal 2 ayat 1 huruf b Konvensi Wina 1969 adalah the international act so named’ yang menurut gambaran adalah tindakan ratikasi secara tegas daripada tindakan ratikasi secara 10 UU No. 24/2000 mengatur bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru dan pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Penjelasan Pasal 10 UU No. 24/2000 24 ILC, Draft Articles On The Law Of Treaties With Commentaries Yearbook of the International Law CommissionVol. II. [ 1996.25 Sir Robert Jennings dan Sir Arthur Watts, Oppenheim’s International Law 9th edn, Longman 1996.[1231].177Zendy Wulan Ratikasi Konvensi Tentang menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama nomenclature perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Anthony Aust, bahwa suatu instrumen internasional tidak bisa ditentukan status hukumnya hanya dari melihat nomenklaturnya. Status hukum suatu instrumen hanya bisa ditentukan dengan mempelajari isi teks atau Menurut Bagir Manan, sebagai konsekuensi diberi bentuk undang-undang, maka segala tata cara pembentukan undang-undang berlaku pada peraturan perundang-undangan tentang pengesahan Perjanjian Internasional. Namun ada pengecualian terhadap hal tersebut, yaitu pertama, hak inisiatif untuk pembentukan undang-undang untuk suatu pengesahan perjanjian internasional hanya berada pada Presiden. Hal tersebut disebabkan kekuasaan hubungan luar negeri termasuk membuat perjanjian internasional termasuk kekuasaan eksekutif, bahkan sebagai kekuasaan yang eksklusif exclusive power. DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak untuk mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Pasal 11 ayat 1 UU No. 24/2000 mengatur bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. Penjelasan Pasal 11 UU No. 24/2000 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan UU No. 24/2000 memang menjelaskan makna “persetujuan DPR” yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 dan telah memberikan kriteria yang lebih jelas mengenai perjanjian internasional mana yang harus diberikan 26 Anthony Aust, Handbook Of International Law Cambridge University Press 2005.[52-55].27 Bagir Manan, Akibat Hukum Di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional Tinjauan Hukum Tata Negara’, Focus Group Discussion Tentang Status Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Indonesia Kerjasama Departemen Luar Negeri Dengan Unpad 2008.178 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 pengesahan melalui Undang-Undang atau melalui Keputusan Presiden daripada Surat Presiden No. 2826/HK/1960. Namun tetap terdapat permasalahan yang tertinggal, diantaranya adalah yang pertama, UU No. 24/2000 tidak diatur mengenai keberadaan undang-undang atau keputusan presiden hasil pengesahan perjanjian internasional sebelum berlakunya UU No. 24/2000. Padahal beberapa undang-undang dan keputusan presiden tersebut masih ada yang dipersoalkan mengenai apakah pengesahan perjanjian internasional tersebut dapat dibenarkan dilakukan dengan keputusan presiden atau harus dengan undang-undang. Permasalahan yang kedua adalah, pada saat mulai diberlakukannya UU No. 10 /2004, sampai dengan sekarang dirubah dengan UU No. 12/ 2011, tidak lagi dikenal istilah keputusan presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedudukan Keppres No. 36/1990 dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Namun karena KepPres No. 36/1990 mulai berlaku pada tahun 1990 maka pembahasan dalam tulisan ini akan dibatasi mulai berlakunya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1960 Tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia selanjutnya disebut TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966.Menurut Lampiran II TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966, norma-norma hukum menurut TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut UUD 1995, Ketetapan MPR, undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya. Lampiran tersebut menyatakan bahwa keputusan presiden berisi keputusan yang bersifat khusus einmalig adalah untuk melaksanakan ketentuan UUD 1995 yang bersangkutan, ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau Peraturan Wulan Ratikasi Konvensi Tentang Maria Farida Indrati Soeprapto mengetengahkan kritik terhadap penyebutan keputusan presiden yang einmalig ini. Menurut beliau hal tersebut tidak tepat. Hal tersebut disebabkan suatu keputusan presiden dapat juga dauerhaftig. Suatu keputusan presiden yang bersifat einmalig adalah yang bersifat “penetapan” beschikking, dimana sifat normanya individual, konkrit dan sekali-selesai einmalig. Sedangkan norma dari suatu peraturan perundang-undangan selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus dauerhaftig. Dengan demikian yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersifat dauerhaftig berlaku terus menerus.28 Berkaitan dengan kedudukan KepPres No. 36/1990 jika didasarkan pada Lampiran II TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 maka sifat KepPres No. 36/1990 tersebut adalah tidak tepat jika digolongkan dengan KepPres berdasarkan TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966. Hal tersebut disebabkan KepPres No. 36/1990 tidak mempunyai sifat individual, konkrit dan sekali-selesai einmalig. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 diatur dalam Pasal 2. Selanjutnya Pasal 3 ayat 6 menentukan bahwa keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugas berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi catatan terkait kedudukan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 yang secara hierarki berada di bawah Peraturan Pemerintah pada saat berlakunya TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah 1 Ketika Pemerintah Indonesia bermaksud untuk membuat undang-undang tentang perlindungan anak, KepPres No. 36/1990 sebagai instrument ratikasi CRC akan dijadikan salah satu konsideransnya. Namun karena bentuknya keputusan presiden, tentu tidak tepat untuk menjadikannya sebagai konsiderans suatu undang-undang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia pada saat berlakunya TAP MPR No. III/MPR/2000. Akibatnya, ketika Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak selanjutnya disebut UU No. 23/2002 diundangkan pada tahun 2002, KepPres No. 36/1990 tidak dijadikan 28 ibid.[78].180 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 konsiderans undang-undang tersebut padahal UU No. 23/2002 merupakan penjabaran dari materi CRC;29 2 Ketika Pemerintah RI menyampaikan Second Periodic Report kepada Komite Hak Anak pada tanggal 7 Juli 2003, Pemerintah RI menyatakan sudah menyadari permasalahan mengenai kedudukan keputusan presiden yang menempati posisi keempat di bawah undang-undang. Pada saat itu, Pemerintah RI berkomitmen untuk meningkatkan instrumen ratikasi dari sebuah keputusan presiden menjadi sebuah undang-undang. Berikut adalah kutipan Second Periodic Report tersebut“A further issue related to this ratication is that the instrument of ratication is a Presidential Decree. The use of a Presidential Decree as the instrument to ratify CRC has prompted much criticism within Indonesia, particularly in the recent past, because in terms of its legal position a Presidential Decree is ranked fourth below an Act. In regard to this problem, Indonesia is earnestly considering and exploring ways of raising the instrument of ratication from a Presidential Decree to an Act”.30Dalam Concluding Observation yang disampaikan oleh Komite Hak Anak dalam menanggapi hal tersebut, terbaca bahwa Komite Hak Anak merasa prihatin mengenai pemberian landasan hukum ratikasi CRC yang tanpa melibatkan lembaga legislatif. Komite Hak Anak mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan dukungan terhadap ratikasi CRC melalui undang-undang. Berikut adalah kutipan Kesimpulan Pengamatan tersebut“Legislation; 13. The Committee welcomes the important legislative reform undertaken which will provide for the foundations of a State based on democracy and human rights, in particular child rights. The Committee also shares the concern expressed by the State party that the ratication of the Convention is not backed by an Act of Parliament; 14. The Committee encourages the State party to consider the possibility of supporting the ratication of the Convention by an Act of Parliament”.31 29 I Wayan UN Committee on the Rights of the Child, Second Periodic Report submitted by Indonesia under the Convention on the Rights of the Child, 7 July 2003 CRC/C/65/ 17].31 UN Committee on the Rights of the Child, Consideration of Reports submitted by State Parties under Convention on the Rights of the Child, the Concluding Observations of the Committee on the Reports of Indonesia, 26 February 2004 CRC/C/15/ [p. 13-14].181Zendy Wulan Ratikasi Konvensi Tentang Kedudukan Keppres No. 36/1990 Berdasarkan UU No. 10/ 2004 dan UU No. 12/2011Pasal 7 ayat 1 UU No. 10/2004 mengatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut a. UUD 1945; b. undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. peraturan Pemerintah; d. peraturan Presiden; e. peraturan daerah. Dari ketentuan tersebut dapat dipastikan mengenai beberapa hal i Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945; ii Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan mana saja yang lebih tinggi dan yang lebih rendah tingkatannya satu sama Pasal 7 ayat 5 UU No. 10/2004, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan tersebut adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Berdasarkan Pasal 7 ayat 4 UU No. 10/2004, jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat 1, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut penjelasan Pasal 7 ayat 4 UU No. 10/2004, jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang ketentuan Pasal 7 UU No. 10/2004 juga dapat diketahui bahwa sejak diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004, istilah Keputusan Presiden tidak terdapat di dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. UU No. 10/2004 mengganti nomenklatur keputusan presiden dengan peraturan presiden, karena 32 Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Konstitusi Press 2006.[47].182 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 selama ini presiden menerbitkan produk hukum yang berisi peraturan regeling dengan yang bersubstansi keputusan beschikking sama-sama dinamakan Keputusan Presiden sehingga mempersulit orang awam untuk membedakan mana yang termasuk peraturan regeling dengan mana yang termasuk keputusan beschikking.33Dengan dihapuskannya keputusan presiden dari tata urutan peraturan perundang-undangan dan digantinya nomenklatur keputusan presiden menjadi peraturan presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan, istilah keputusan secara tegas dibedakan dengan pengertian peraturan. Keputusan Presiden dibatasi hanya untuk menetapkan hal-hal yang bersifat individual-konkret individual and concrete norms, sedangkan keputusan yang bersifat mengatur regeling disebut Peraturan Pasal 56 UU No. 10/2004 menyatakan bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5435 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. KepPres No. 36/1990 adalah mengenai ratikasi CRC. Sehingga lebih tepat apabila dikatakan keputusan presiden ini mempunyai sifat mengatur. Konsekuensinya adalah, berdasarkan Pasal 56 UU No. 10/2004, maka KepPres No. 36/1990 ini harus dibaca sebagai peraturan presiden dan menempati kedudukan di bawah peraturan pemerintah. Namun sayangnya, Pasal 56 UU No. 10/2004 juga menerapkan syarat yang harus dipenuhi oleh keputusan yang bersifat mengatur tersebut untuk bisa dibaca sebagai peraturan, yaitu sepanjang tidak bertentangan 33 Sirajuddin, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan MCW 2006.[35].34 Jimly Asshiddiqqie, Perihal Undang-Undang Raja Grando Persada 2010.[117]. 35 Pasal 54 UU No. 10 Tahun 2004 “Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam undang-undang Wulan Ratikasi Konvensi Tentang dengan UU No. 10/2004. Pasal 11 UU No. 10/2004 mengatur bahwa materi muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Berdasarkan Pasal 11 UU No. 10/2004 tersebut bisa dikatakan bahwa peraturan presiden menurut UU No. 10/2004 adalah peraturan yang bersifat pelimpahan wewenang delegasi dari suatu undang-undang atau peraturan pemerintah. Sedangkan KepPres No. 36/1990 merupakan pengaturan secara langsung berdasarkan atribusi dari Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan. Dengan kata lain, KepPres No. 36/1990 adalah keputusan presiden baca peraturan presiden yang mandiri sehingga tidak tepat apabila materi muatannya dimasukkan dalam golongan sebagaimana Pasal 11 UU No. 10/2004. Namun anehnya, di dalam penjelasan Pasal 11 UU No. 10/2004 dinyatakan bahwa sesuai dengan kedudukan Presiden menurut UUD 1945, peraturan presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Lebih lanjut penjelasan Pasal 11 UU No. 10/2004 menyatakan bahwa peraturan presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah undang-undang atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. Penjelasan Pasal 11 UU No. 10/2004 tersebut membingungkan karena ternyata juga mengakui adanya Peraturan Presiden yang terbentuknya UU No. 12/2011, kelemahan-kelemahan UU No. 10/2004 disempurnakan. Ketika UU No. 10/2004 digantikan dengan UU No. 12/2011, UU No. 12/2011 pun tidak mencantumkan istilah keputusan presiden di dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 UU No. 12/2011 mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Menurut Pasal 7 ayat 2 UU No. 12/2011, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat 1. 184 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 Pasal 100 UU No. 12/ 2011 menentukan bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati atau Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9736 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Ketentuan Pasal 100 UU No. 12/2011 tersebut berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 56 UU No. 10/2004. Perbedaan tersebut terletak pada frase “dimaknai sebagai peraturan” Pasal 100 UU No 12/2011 dan “dibaca sebagai peraturan” Pasal 56 UU No. 10/2004. Namun syarat yang ditentukan adalah sama, yaitu bahwa sepanjang keputusan tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 12/2011. Pasal 13 UU No. 12/2011 mengatur bahwa materi muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Dapat terlihat jika ketentuan pasal tersebut menyempurnakan ketentuan Pasal 11 UU No. 10/ ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 12/2011 maka KepPres No. 36/1990 dapat dimaknai sebagai sebuah peraturan presiden yang materinya mengenai penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sebagai suatu keputusan presiden yang dimaknai sebagai suatu peraturan presiden berdasarkan UU No. 12/2011, KepPres No. 36/1990 menempati posisi ke lima dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu dibawah peraturan pemerintah. Salah satu akibat yang muncul berkaitan dengan hal tersebut adalah ketika Indonesia meratikasi dua Protokol Opsional CRC melalui UU No. 9/2012 dan UU No. 10/ 2012, KepPres No. 36/1990 tidak bisa dicantumkan di dalam konsiderans. Selain itu KepPres No. 36 Pasal 97 UU No. 12 Tahun 2011 “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.”185Zendy Wulan Ratikasi Konvensi Tentang 36/1990 juga tidak digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan ratikasi dua Protokol Opsional tersebut karena peraturan perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. KesimpulanMenurut Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Hal tersebut berarti bahwa Presiden RI merupakan Kepala Pemerintahan di Negara RI. Selain sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di Indonesia, sehingga Presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Pembahasan mengenai kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian internasional hanyalah merupakan salah satu aspek kekuasaan Presiden untuk melaksanakan fungsi hubungan luar negeri yang diatur dalam Pasal 11 UUD dari sifat dan hakikatnya sebagai hukum positif, Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dijadikan sebagai pegangan oleh Pemerintah maupun DPR dalam mengesahkan dan mengundangkan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia sampai lahirnya UU No. 24/2000. UU No. 24/2000 memperjelas mengenai permasalahan “persetujuan DPR” yang dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945 dan telah memberikan kriteria yang lebih jelas mengenai perjanjian internasional mana yang harus diberikan pengesahan melalui undang-undang atau melalui Keputusan Presiden. Namun dengan lahirnya UU No. 10/2004 sampai sekarang diberlakukannya UU No. 12/ 2011, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak lagi mengenal istilah “keputusan presiden”. Istilah “keputusan presiden” digantikan dengan istilah “peraturan presiden”. Kedudukan KepPres No. 36/1990 dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia bisa ditinjau dari empat dasar hukum yang mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mulai diberlakukannya KepPres No. 36/1990, yaitu berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011. 186 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 Kedudukan Keputusan Presiden tersebut berbeda-beda sesuai dengan masa berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih lanjut, berkaitan dengan statusnya sebagai instrumen ratikasi Konvensi Hak Anak yang tidak berbentuk sebagai undang-undang adalah tidak tepat jika berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan BacaanBukuA. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia DalamPenyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV Universitas Indonesia 1990.Anthony Aust, Handbook Of International Law Cambridge University Press 2005.Bagir Manan, Akibat Hukum Di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian InternasionalTinjauan Hukum Tata Negara’, Focus Group Discussion Tentang Status Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Indonesia Kerjasama Departemen Luar Negeri Dengan Unpad 2008.Hans-Joachim Heintze, The UN Convention And The Network Of The International Human Rights Protection By The UN [ 1992.Harjono Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional Bina Ilmu 1999.ILC, Draft Articles On The Law Of Treaties With Commentaries Yearbook of the International Law CommissionVol. II. [ 1996.Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Konstitusi Press 2006.——, Perihal Undang-Undang Raja Grando Persada 2010.M. Freeman dan P. Veerman, The Ideologies Of Children’s Rights Kluwer AcademicPublishers 1992.Sirajuddin, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam PembentukanPeraturan Perundang-Undangan MCW 2006.187Zendy Wulan Ratikasi Konvensi Tentang Sir Robert Jennings dan Sir Arthur Watts, Oppenheim’s International Law 9th edn, Longman 1996.Soeprapto dan Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan I Kanisius 2007.UN Committee on the Rights of the Child, Second Periodic Report submitted by Indonesia under the Convention on the Rights of the Child, 7 July 2003 CRC/C/65/ Committee on the Rights of the Child, Consideration of Reports submitted by State Parties under Convention on the Rights of the Child, the Concluding Observations of the Committee on the Reports of Indonesia, 26 February 2004 CRC/C/15/ The State of the World’s Children Special Edition UNICEF 2009.Yayasan Pemantau Hak Anak, Kertas Posisi Menyoal Landasan Hukum Ratikasi Hak Anak [ Ratikasi Perjanjian Internasional’ 1993 VIII Wayan Parthiana, Kajian Akademis Teoritis Dan Praktis Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional’ 2008 5 Jurnal Hukum Ketut Apriliawati, Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Dasar Ratikasi Perjanjian Internasional Yang Bersifat Multilateral’ 2015 30 Yuridika Nations, UN Treaty Collection Status of the Convention on the Rights of the Child’ United Nations Treaty Collection, 2012 Yuridika Volume 32 No. 1, Januari-April 2017 ... Indonesia sebagai negara hukum telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on The Right of Child Konvensi tentang hak-hak anak. Ratifikasi ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak Prameswari, 2017. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah anak, diantaranya anak yang berkonflik dengan hukum. ...Erwin AmranMuliaty PawenneiZainuddin ZainuddinTujuan penelitian menganalisis efektivitas penyidikan korban tindak pidana kekerasan terhadap anak di Polrestabes Makassar dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dan hukum penelitian ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke Polrestabes Makassar setiap tahun mengalami penurunan akan tetapi penyelesaiannya juga mengalami kecenderungan penurunan. Oleh karena itu, penyidikan korban tindak pidana kekerasan terhadap anak di Kepolisian Resor Kota Besar Makassar kurang efektiv. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penyidikan korban tindak pidana kekerasan terhadap anak di Kepolisian Resor Kota Besar Makassar adalah faktor substansi hukum, faktor aparat penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, faktor kesadaran hukum masyarakat, serta budaya hukum masyarakat. The research objective is to analyze the effectiveness of the investigation of victims of violence against children at the Makassar Police and its influencing factors. This research method uses normative legal research and empirical law. The results of this study indicate that cases of violence against children reported to the Makassar Polrestabes have decreased every year but the settlement also has a tendency to decline. Therefore, the investigation of victims of violence against children at the Makassar City Police is less effective. Factors that influence the effectiveness of investigations of victims of violence against children at the Makassar City Police are legal substance factors, law enforcement factors, facilities and infrastructure factors, community legal awareness factors, and community legal culture... Hukum dan HAM yang paling komprehensif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak Maskur, 2012. Negara Indonesia sendiri merupakan salah satu negara anggota PBB, yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak KHA Prameswari, 2017, dengan menerbitkan Keppres Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990, yang pada intinya menyatakan keterikatannya untuk menghormati serta demi menjamin hak anak tanpa diskriminasi dalam wilayah hukum Republik Indonesia. ...Imam Subaweh ArifinUmi RozahAnak adalah modal utama bagi bangsa di masa depan, oleh karenanya, anak harus mendapatkan perhatian ekstra, baik dari lingkungan keluarga, masyarakat serta bangsa dan negara. Kualitas suatu bangsa di masa depan dapat dilihat dari kualitas generasi mudanya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan normative Normative Law Research dengan pendekan konseptual Conseptual Approach. Peneliitian menunjukan bahwa sistem pemidanaan anak di Indonesia perlu didiskusikan kembali dan diperbaharui kembali dengan melakukan studi perbandingan negara lain. Hal ini akan dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan pemidanaan dan pertanggungjawaban anak yang berhadapan dengan hukum ABH. Kebijakan Konsep Doli Incapax dalam KUHP; UU Nomor 11 Tahun 2012; UU Nomor 35 Tahun 2014 masih banyak terdepat kelemahan, yakni terkait sistem pemidanaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan tujuan dalam perkembangannya kedepan dapat diperoleh perlindungan hak serta kewajiban anak yang berhadapan dengan hukum. mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa dimasa yang akan HidayatullahHusnatul MahmudahGufran SanusiPenelitian ini tentang tradisi pacuan kuda yang menggunakan anak sebagai joki joki cilik di Bima Nusa Tenggara Barat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tentang ekploitasi anak yang terjadi pada tradisi pacuan kuda. Jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis empiris atau sosiological. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pacuan kuda yang melibatkan anak sebagai joki adalah adanya ekploitasi ekonomi. Dimana anak-anak diarahkan untuk menjadi joki dengan harapan mendapatkan imbalan/upah. Anak-anak melakukan aktivitas sebagai joki menggadaikan nyawa karena hal tersebut sangat berbahaya baik secara fisik maupun psikis anak. Dalam perspektif sejarah, pacuan kuda di Bima tidak menggunakan anak-anak sebagai joki. Namun seiring waktu karena dipengaruhi oleh aktivitas perjudian, anak-anak menjadi pilihan terbaik agar kuda dapat berlari kencang. Keterlibatan anak menjadi joki menyebabkan permasalahan laten di masyarakat. Seperti adanya eksploitasi anak untuk meningkatkan ekonomi keluarga, sehingga hak dasar anak yang lain terabaikan. Berdasarkan analisis perspektif hukum Islam dan Hukum positif diketahui bahwa hak-hak anak yang lalai dalam pemenuhannya adalah 1 Pendidikan formal yang terbengkalai; 2 rentan mengalami kecelakaan/luka fisik. Orang tua yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak, bukan sebaliknya. Menempatkan anak sebagai pekerja sama halnya dengan mengabaikan kewajiban orang tua, serta mendzolimi anak karena memberikan beban berlebihan yang tidak sesuai dengan usianya. Kata Kunci Eksploitasi, Anak, Joki, Pacuan KudaJuhriati JuhriatiPenelitian ini mengupas tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Tingginya angka tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang tercatat di Polres Bima memunculkan beberapa pertanyaan kritis seperti; apakah dalam hal penyidikan dan penyelidikan anak tetap diperhatikan haknya? apakah anak mendapatkan perlakuan khusus dalam rumah tahanan? Apakah hak-hak dasar anak dapat terpenuhi ketika mereka berada dalam rumah tahanan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut perlu dianalisis lebih mendalam. Sehingga dalam penelitian ini, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan dan jawabannya. Pertama, terdapat kendala internal dari pihak kepolisian dalam memenuhi hak-hak anak, seperti minimnya fasilitas gedung dan petugas untuk penanganan pemisahan tahanan; kedua, minimnya SDM yang dapat menangani persoalan anak secara detail; ketiga, factor eksternal yang muncul saat anak menghadapi penyidikan dan penyelidikan seperti masalah psikologi NurbayaAulia Febriyanti PratiwiTransformasi teknologi media cetak ke media online telah mempermudah akses ke berbagai informasi berita yang ada. Sayangnya, meski mudah diakses tidak semua berita yang ada memenuhi kaidah hukum dan kode etik jurnalistik tidak terkecuali pemberitaan tentang anak. Artikel ini menemukan bahwa masih ada media online yang tidak memenuhi standar regulasi pers yang telah diatur dalam Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019, tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak PPRA dan pasal 5 dalam kode etik jurnalistik yaitu dengan memproduksi berita tidak ramah anak. Penelitian ini menggunakan Teori Pers Tanggungjawab Sosial dan teknik pengambilan datanya menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Dengan menganalisis dua berita pada media iNews dan pemberitaan yang tidak ramah anak dengan menyebut identitas anak—menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak dalam melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan Yudi Anton RikmadaniPuguh Aji Hari SetiawanThis research aims to review the right to child protection as well as the implementation of the Juvenile Criminal Justice System SPPA based on court rulings. Behind the research is concern about the increasing number of children involved in terrorist networks in Indonesia. Some of them have been sentenced to prison for terrorism plots. The implementation of the SPPA Act and the PA Act has become a reference for law enforcement in addition to counter-terrorism legislation. The crime of terrorism is a crime that must be addressed immediately because it threatens the state, but the state remains obliged to ensure the fulfillment of the right to child protection during the judicial process with special protection. With the involvement of a child that is in relevance to the child protection act, it is a complex matter that needs to be resolved with a special analysis of law, due to its nature. This study examines court rulings with normative juridical methods to get significantly achieved results. In addition, this study also adds secondary resources such as article journals, books, reports, and any source that has relevance to the study. The results of the study found that the special protection of children in the Crime of Terrorism has not been met, by not considering the child as a victim, because of the actions he did the influence of persuasion as revealed in court. In addition, law enforcement does not seek diversion as mandated in the SPPA. To conclude the court's decision does not consider the regulations on PA and has not fully implemented the SPPA. KEYWORDS Legislation on Terrorism, Children's Rights, Law Enforcement, Juvenile early childhood marriage ECM can protect children’s rights from the perspective of human rights. There are several rules regarding the age limit for marriage. In Indonesia, the minimum age for marriage is nineteen years. However, in fact, early child marriage is still relatively high, with the seventh highest ranking in the world. This study aims to elaborate on the rights of children, which ECM potentially violates, and to identify who is responsible for minimizing and/or combating this phenomenon. This normative legal research with a human rights approach occurs in the childhood protection context. The results show that ECM has implications for violations against the right to life, the right to education, the right to develop, and the right to health. Thus, more stringently applying international and national law and combining with local wisdom Balinese Customary Law in protecting children's rights in the context of preventing ECM can prevent ECM effectively and minimize violations of other children's rights. Moreover, it is believed that the responsibility to reduce and combat ECM not only belongs to the government but also to all stakeholders within the community, such as families, academics, the media, non-profit organizations, entrepreneurs, and customary. Muna MadrahGiving breast milk is becoming more popular, whether directly or mediated by organizations supporting nursing donors. In Muslim communities, donating breast milk has implications for the relationship between the child and the nursing mother, including the mother's husband and biological children. The relationship is called the mahram relationship. Mahram in Islam is essential because it clarifies the child's lineage and the relationship between the family of the nursing mother. The objectives of this study are 1. to describe the breastfeeding donor in Semarang; 2. to describe community awareness of its implication; and 3. questions whether any policy regulates the recording of breastfeeding donor practices to track mahram relationships. This is qualitative research by exploring information from primary sources in Semarang District. Furthermore, the data, also, is gathered from relevant policy documents to strengthen argumentation and analysis. The results indicate that breastfeeding donor policies already exist in Semarang, but each institution associated with various policies moves independently in its implementation. There is no policy regarding recording the mahram relations. The absence of a clear and integrated policy has led to a tendency for people to practice breastfeeding independently without the need to carry out official recording procedures. The research offers a cross-sectoral integrated policy concept aiming to fulfill children's rights to the best food in their early life while having the right to know the clarity of their Nur CahyoIrma CahyaningtyasAnak sejatinya merupakan generasi penerus suatu bangsa yang wajib memperoleh perlindungan. Perlindungan anak yang berurusan dengan hukum diatur dalam UU SPPA, yaitu melalui upaya diversi dengan pendekatan Restorative Justice. Pada kondisi saat ini, undang-undang tersebut masih terdapat kekosongan norma dalam anak pelaku recidive, hal tersebut bertentangan dengan tujuan perlindungan anak. Tulisan ini membahas bagaimana penyelesaian perkara anak terutama recidive anak dan upaya apa yang dapat dilakukan guna mengefektifkan dan memaksimalkan perlindungan kepada anak. Metode yang dipergunakan yaitu yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analitis, jenis data dengan data sekunder, dan analisis data secara kualitatif. UU SPPA mengatur tentang penyelesaian perkara anak yang berurusan dengan hukum, yaitu menggunakan upaya mediasi penal. Mediasi penal merupakan upaya penyelesaian perkara anak pada saat ini, namun masih terdapat kekurangan yang masih harus dievaluasi kembali. Untuk kedepan diharapkan adanya upaya mediasi non penal guna mencegah sekaligus mengurangi perkara anak terutama recidive, agar terjamin dan terlindungi masa depan anak di CindyThe Indonesian state upholds the human rights of children as stated in Article 28B of the 1945 Constitution, including children with disabilities. It is undeniable that children with disabilities can become victims of rape, the existence of a strong perpetrator's desire, opportunity, the perpetrator's relationship with the victim, and the association of the perpetrator can form thoughts or intentions to commit the act of rape. Preventive protection is an effort to prevent rape of children with disabilities, if the act of rape has occurred, repressive protection becomes an effort to enforce the law. Giving rights to children with disabilities, such as getting special protection from discrimination, neglect, abuse, exploitation, violence and sexual crimes. Keywords Children with Disabilities; Legal Protection. Abstrak Negara Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terhadap anak yang tercantum pada Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, tidak terkecuali pada anak penyandang disabilitas. Tidak dipungkiri bahwa anak penyandang disabilitas dapat menjadi korban perkosaan, adanya faktor keinginan pelaku yang kuat, kesempatan, hubungan pelaku dengan korban, dan pergaulan pelaku dapat membentuk pemikiran atau niat untuk melakukan perbuatan perkosaan. Perlindungan preventif menjadi upaya pencegahan agar tidak terjadi perbuatan perkosaan terhadap anak penyandang disabilitas, apabila perbuatan perkosaan telah terjadi, maka perlindungan represif menjadi upaya penegakan hukum. Pemberian hak pada anak penyandang disabilitas, seperti mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, kekerasan dan kejahatan seksual. Kata Kunci Anak Penyandang Disabilitas; Perlindungan AustA concise account of international law by an experienced practitioner, this book explains how states and international organisations, especially the United Nations, make and use international law. The nature of international law and its fundamental concepts and principles are described. The difference and relationship between various areas of international law which are often misunderstood such as diplomatic and state immunity, and human rights and international humanitarian law are clearly explained. The essence of new specialist areas of international law, relating to the environment, human rights and terrorism are discussed. Aust's clear and accessible style makes the subject understandable to non-international lawyers, non-lawyers and students. Abundant references are provided to sources and other materials, including authoritative and useful Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan NegaraA HamidAttamimiHamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV Universitas Indonesia 1990.Akibat Hukum Di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional Tinjauan Hukum Tata Negara', Focus Group Discussion Tentang Status Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Indonesia Kerjasama Departemen Luar Negeri Dengan UnpadBagir MananBagir Manan, 'Akibat Hukum Di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional Tinjauan Hukum Tata Negara', Focus Group Discussion Tentang Status Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Indonesia Kerjasama Departemen Luar Negeri Dengan Unpad 2008.The UN Convention And The Network Of The International Human Rights Protection By The UNHans-Joachim HeintzeHans-Joachim Heintze, The UN Convention And The Network Of The International Human Rights Protection By The UN [ 1992.Draft Articles On The Law Of Treaties With CommentariesILC, Draft Articles On The Law Of Treaties With Commentaries Yearbook of the International Law CommissionVol. II. [ 1996.The Ideologies Of Children's RightsM Freeman DanP VeermanM. Freeman dan P. Veerman, The Ideologies Of Children's Rights Kluwer Academic Publishers 1992.Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-UndanganSirajuddinSirajuddin, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan MCW 2006.Keputusan Bupati atau Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 36 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturanKeputusan Menentukan Bahwa Semua Keputusan PresidenKeputusan MenteriGubernurPasal 100 UU No. 12/ 2011 menentukan bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati atau Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 36 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut terletak pada frase "dimaknai sebagai peraturan" Pasal 100 UU No 12/2011 dan "dibaca sebagai peraturanKetentuan Pasal 100 UU No. 12/2011 tersebut berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 56 UU No. 10/2004. Perbedaan tersebut terletak pada frase "dimaknai sebagai peraturan" Pasal 100 UU No 12/2011 dan "dibaca sebagai peraturan" Pasal 56 UU No. 10/2004. Namun syarat yang ditentukan adalah sama, yaitu bahwa sepanjang keputusan tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 12/ No. 36/1990 tidak bisa dicantumkan di dalam konsideransProtokol OpsionalCrc NoProtokol Opsional CRC melalui UU No. 9/2012 dan UU No. 10/ 2012, KepPres No. 36/1990 tidak bisa dicantumkan di dalam konsiderans. Selain itu KepPres No.
dalamKonvensi Wina Tahun 1969, unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional yaitu: an international agreement, by subject of international law, in written form, government by international law, and inwhatever form. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga ditentukan mekanisme
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian adalah sebuah perjanjian internasional yang berisi tentang hukum perjanjian antar negara. Perjanjian tersebut ditetapkan pada 23 Mei 1969[3] dan dibuka untuk penandatanganan pada 23 Mei 1969.[1] Konvensi tersebut mulai berlaku pada 27 Januari 1980.[1] Perjanjian ini telah diratifikasi oleh 116 negara pada Januari 2018.[2] Konvensi Wina tentang Hukum PerjanjianKonvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Negara anggota Penandatangan Non-negara anggota Ditandatangani23 Mei 1969LokasiWinaEfektif27 Januari 1980SyaratRatifikasi oleh 35 negara[1]Penanda tangan45Pihak116 pada Januari 2018[2]PenyimpanSekjen PBBBahasaArab, Tionghoa, Inggris, Prancis, Rusia dan Spanyol[1] Vienna Convention on the Law of Treaties di Wikisource
Padaskripsi ini penulis mengangkat permasalahan Pengakhiran Perjanjian Berdasarkan Pasal 18 Huruf H Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang Tidak Diatur dalam Vienna Convention on the law of Treaties 1969, pilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh adanya ketentuan dalam Konvensi 1969 yang menegaskan bahwa pada dalam suatu perjanjian internasional setiap negara tidak dapat menjadikan hukum
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Vienna Convention 1969 mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional sekarang sudah tidak ada lagi maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional sebagai perwujudan dari opinion juris. Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan code of conduct yang mengikat mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu. Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru. Maka Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya. Untuk referensi mengenai Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari general comment dan traveaux preparatoir dari konvensi ini maupun dari buku-buku karangan Elias dan Sinclair mengenai Law of Treaties. Ditulis dalam PKn
tentangPerjanjicnz Intermsionat Berdasarkan Hukum Perjapýim Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Pajanjian Internasional yang hanya mengatur perjanjian-peijanjian internasional antara negara dan negara saja, dan; Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional antara Organisasi Internasional dan Negara
DalamKonvensi Wina ini dijelaskan bahwa konferensi diadakan oleh atau dibawah naungan suatu organisasi internasional seperti yang dituliskan pada pasal 1 dan 2. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi ini adalah peraturan yang relevan dan tidak mempengaruhi perjanjian internasional yang sudah berlaku sebelumnya,
vXClthP. 86kbxk9qvm.pages.dev/91586kbxk9qvm.pages.dev/52086kbxk9qvm.pages.dev/94686kbxk9qvm.pages.dev/56686kbxk9qvm.pages.dev/78286kbxk9qvm.pages.dev/16386kbxk9qvm.pages.dev/98686kbxk9qvm.pages.dev/56786kbxk9qvm.pages.dev/20386kbxk9qvm.pages.dev/54186kbxk9qvm.pages.dev/35686kbxk9qvm.pages.dev/75386kbxk9qvm.pages.dev/20386kbxk9qvm.pages.dev/33986kbxk9qvm.pages.dev/74
peraturan menurut konvensi wina 1969