Pembagianterhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan
Cirebon OnlineNgamprah – Kabupaten Bandung Barat sebelumnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Kabupaten Bandung. Dalam perjalanan historisnya, Bandung Barat juga tak terpisahkan dari wilayah Priangan. Bahkan, tak juga bisa dipisahkan dalam konteks sejarah Jawa Barat atau Sunda pada umumnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengungkap bahwa Jawa Barat telah dihuni oleh masyarakat manusia dari prasejarah dan sejarah. Salah satunya bisa dibuktikan dengan adanya Makam Keramat Syekh Maulana Muhammad Syafe’i atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Atas Angin yang berada di Kampung Keramat Wali RT01/RW07 Desa Cijenuk, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. Untuk menuju ke lokasi objek Makam Syekh Maulana Muhammad Syafe’ i akan melalui jalan yang cukup representatif lantaran merupakan jalan provinsi yang dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Komplek makam keramat Syekh Maulana Muhammad Syafe’i merupakan makam keluarga dan posisinya juga berada dalam benteng. Sementara itu, makam-makam yang berada dalam pagar tersebut berjumlah 11 makam. Kesebelas makam tersebut tidak menggunakan jirat ataupun nisan, namun ditata dengan batu-batu alam dengan membentuk pola segi empat. Di sebelah timur makam terdapat sebuah masjid, sementara di sebelah barat makam terdapat bangunan khusus untuk berziarah. Bangunan tersebut cukup representatif, terdapat ruangan khusus untuk pria ukuran 9 x 13 meter dan untuk wanita 9 x 16 m. Di samping itu, terdapat pula kamar khusus sebanyak 4 empat kamar dengan ukuran 2,25 x 3 meter. Kamar-kamar tersebut berada di bawah tanah, posisinya berada di bawah ruangan berziarah bagi kaum wanita. Fungsi kamar di bawah tanah itu adalah untuk berkhalwat atau menyepi. Kepala Seksi Sejarah dan Cagar Budaya pada Disparbud KBB Asep Diki Hidayat mengatakan, semula Desa Cijenuk bernama Kampung Panaruban. Kata Panaruban sendiri berasal dari bahasa Arab Taharub’ yang berarti mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Syekh Maulana Muhammad Syafe’i dalam menyebarkan dan mengajarkan agama Islam melalui metode zikir,” katanya, Rabu 22 September 2021. Lama kelamaan, sambung dia, di tempat tersebut banyak didatangi para santri yang ingin belajar Islam. “Maka tempat tersebut dinamai Cijenuk tempat berkumpul. Dalam perkembangan selanjutnya, kampung tersebut berubah menjadi Cijenuk,” sambungnya. Lebih lanjut Asep menerangkan, Syekh Maulana Muhammad Syafe’i diduga berasal dari Banten. Kehadirannya di tempat tersebut, di samping lokasinya cocok untuk pengembangan ajaran Islam, juga sebagai tempat perlindungan dari kejaran kolonial Belanda. “Waktu abad ke-18 melakukan pembantaian terhadap para bangsawan Banten dan keturunannya,” terangnya. Ia menyebut, Syekh Maulana Muhammad Safe’i merupakan salah satu dari keturunan dari para Sultan Banten. Antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon, kata dia, masih terkait hubungan darah dan titik sentralnya diambil dari garis Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. “Mengingat masih ada garis keturunan dari Kesultanan Cirebon, maka keturunan Syekh Maulana Muhammad Syafe’i Cijenuk keberadaannya sampai dengan sekarang diakui oleh Kesultanan Kanoman, Cirebon,” tandasnya. Agus Satia Negara.***PangeranWalangsungsang mempunyai dua adik yakni Nyai Mas Rara Santang dan Pangeran Raja Sagara. Ketiga anak ini diyakini yang telah membangun pedukuhan Cirebon (Caruban Nagari). Pangeran Walangsungsang pada usia remaja keluar dari istana karena mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan diperintahkan untuk mencari atau mempelajari agama Islam yang bisa menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Cirebon - Budayawan dan Keraton Kasepuhan menyayangkan rusaknya situs Sultan ke VI Keraton Kasepuhan Cirebon Pangeran Matangaji oleh pengembang perumahan. Mereka mengecam dan menuntut pengembang agar bertanggungjawab terhadap perusakan situs itu. Pemerintah Kota Cirebon diketahui telah memberhentikan aktivitas proyek pengembangan perumahan lantaran belakangan diketahui tidak berizin. Munculnya Kota Barus sebagai Perintis Bahasa Indonesia Kisah Lorong Rahasia Gua Sunyaragi dan Hancurnya Situs Sultan Matangaji Cirebon Dijuluki Ustaz Gadungan, Pemuda Palembang Nekat Bunuh Calon Pengantin Seiring dengan upaya menata kembali situs yang rusak tersebut, tidak semua orang tahu bagaimana kiprah Sultan Matangaji semasa hidupnya berjuang melawan penjajah Belanda. Filolog Cirebon Rafan S. Hasyim mengatakan, era Sultan Matangaji dianggap merupakan puncak dari perlawanan Cirebon terhadap Belanda. Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep. "Termasuk Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara," ujar pria yang akrab disapa Opan Safari, Kamis 20/2/2020. Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin 1753-1773. Sang Sultan mengawali perlawanan terhadap Belanda. Dia menuturkan, Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon. "Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati," PerlawananGua Sunyaragi saksi bisu perjuangan tokoh Cirebon melawan Belanda salah satunya Sultan ke V Keraton Kasepuhan Sultan Matangaji. Foto / Panji PrayitnoNamun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin Matangaji yang memiliki nama kecil Amir Siddiq 1773-1786. Sultan Matangaji secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker. "Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju. Termasuk situs yang dirusak itu jadi pintu keluar Sultan Matangaji saat Gua Sunyaragi dikejar Belanda," ungkap Opan. "Belanda mengenal Gua Sunyaragi sebagai istana musim panas atau istilahnya tempat dugem dunia gemerlap para Sultan dengan haremnya. Padahal sebenarnya memang dirancang untuk perlawanan," sambung Opan. Namun, di tengah membangun kekuatan perlawanan, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda. Singkat cerita Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi. Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji sembari mendirikan pesntren di kawasan Sumber sebagai perlawanan. "Seiring berjalannya waktu terjadilah perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang," Opan menjelaskan. Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda. Opan mengatakan, Ki Muda adalah adik ipar Sultan situs Sultan Matangaji hancur setelah ditimbun untuk proyek perumahan . Foto / Panji PrayitnoNamun, ketika perundingan berlangsung, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji. Beruntung, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan ke V Keraton Kasepuhan itu. Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji. Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan. "Sultan Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri. Perjuangan dianggap berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji," tutur dia. Namun, kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem Pangeran Sukmadiningrat, Bagus Rangin Pangeran Atas Angin, Bagus Serit Pangeran Syakroni. Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818. "Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus," Opan mengisahkan. Pada peperangan itu, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih. Dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala. "Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon," sebut dia. Saksikan video pilihan berikut ini Salah satu gamelan pusaka koleksi Keraton Kacirebonan konon bisa mendatangkan hujan* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
KeratonKasepuhan Cirebon atau Keraton Pakungwati, dibangun oleh Pangeran Cakrabuana atau sering dikenal dengan sebutan Mbah Kuwu Cerbon pada tahun 1430,berselang waktu kemudian Pangeran Cakrabuana mengganti nama menjadi Keraton Pakungwati yang sebelumnya nama pertamanya yaitu Dalem Agung Pakungwati, dikarenakan Pangeran Cakrabuana mempunyai kasih sayang terhadap putrinya yang bernama Ratu Ayu Adhyatnika Geusan Ulun Sejarah Saturday, 10 Sep 2022, 2146 WIB Situs Religi Makam Pangeran Raja Atas Angin di Cijenuk Bandung Oleh Adhyatnika Geusan Ulun Bandung Barat adalah kabupaten yang relatif berusia muda. Daerah otonom hasil pemekaran Kab. Bandung tersebut diresmikan pada 12 januari 2007. Daerah yang cukup kaya dengan sejumlah potensi yang dimilikinya; mulai dari keadaan alam, jumlah penduduk, objek wisata, hingga institusi pendidikan yang tersebar di seluruh wilayahnya. Hal tersebut menjadikan kabupaten muda ini sangat berpeluang menjadi daerah yang unggul dalam segala bidang. Salah satu primadona Kab. Bandung Barat KBB adalah sektor pariwisata. Saat ini tercatat 159 situs bersejarah tersebar di 16 kecamatan. Sebanyak 17 situs di antaranya didaftarkan menjadi cagar budaya nasional. Sementara itu, baru satu situs yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya nasional, yaitu Observatorium Bosscha di Lembang. Jika melihat hal tersebut, objek wisata di daerah ini cukup lengkap. Mulai dari wisata alam seperti; Tangkuban Perahu, Gunung B[urangrang, Curug Maribaya, Taman Begonia, Taman Hutan Jayagiri Lembang, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Curug Omas, Curug Cimahi, Curug Malela, Situ Ciburuy, Stone Garden, Gua Pawon, Gua Sanghyang Tikoro, Lembah Curugan Gunung Putri, Waduk Cirata, Waduk Saguling, Sēndang Geulis Kahuripan, Pasir Keraton, Tutugan Burangrang. Kemudian wisata sejarah; Observatorium Bosscha, Makam Karl Adolf Bosscha. Belum lagi ada wisata keluarga dan kuliner, yakni Kampung Gajah Wonderland, Pusat Tanaman Cihideung, Dusun Bambu Lembang, Ciwangun Indah Camp, Terminal Wisata Grafika Cikole, Floating Market Lembang, Farmhouse Lembang, De'Ranch Lembang, dan Kota Baru Parahyangan. Adalah wisata religi yang tidak boleh diabaikan, dan patut diperhitungkan oleh Pemerintah KBB, mengingat penduduknya yang religius dan mayoritas suku Sunda yang identik dengan Islam. Sebenarnya cukup banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan menjadi wisata unggulan disamping objek di atas. Daerah yang banyak dihuni oleh para ulama dan santri ini memiliki sejumlah situs sejarah jejak-jejak peninggalan para penyebar agama Islam. Sebut saja Makam Embah Dalem Jagat Sakti dan Eyang Dipatiukur di Cipatat, Makam Eyang Keraton Ciawitali di Cikalongwetan. Makam Sembah Dalem Ibrahim di Ciraden Cihampelas, Selanjutnya,Makam Mama Ilyas Cibitung, Makam Keramat Salem di Desa Tenjolaut, Makam Keramat Dayeuh Luhur di Desa Puteran, Makam Keramat Bale Kambang di Komplek Perkebunan Gunung Susuruh, dan Makam Syaikh Maulana Muhammad Syafei atau Pangeran Raja Atas Angin di Cipongkor. Menarik untuk dikaji tentang situs sejarah yang berada di Desa Cijenuk, Kecamatan Cipongkor, Kab. Bandung Barat, yakni Makam Syaikh Maulana Muhammad Syafei. Pemakaman seluas 2,5 hektar ini, menyimpan jejak-jejak sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Priangan, khususnya Bandung dan sekitarnya. Sebuah pohon besar, yang akarnya menyembul ke permukaan makam, menambah istimewanya area ini. Adalah Syaikh Maulana Muhammad Syafei, seorang penyebar agama Islam keturunan langsung Sultan Ageng Tirtayasa, atau keturunan kesembilan Syaikh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Tokoh ini merupakan pelopor syiar Islam di sejumlah wilayah Jawa Barat; mulai dari Cisewu, Garut, hingga Surade, Sukabumi. Kedatangan Sang Penyebar agama Islam ini tidak terlepas dari misi dakwah yang diembannya sebagai seorang Waliyullah. Ditemani oleh dua panglimanya, yakni Eyang Jaga Raksa dan Eyang Jaga Wadana, Sang Wali berdakwah ke pelosok daerah. Dalam syiarnya di daerah Cijenuk Cipongkor, dibantu oleh sang istri, Nyimas Rangga Wuluh, dan kedua anak perempuannya, yakni Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan, Syaikh Maulana mendirikan sebuah pesantren. Pesantren yang cukup sederhana, namun kerap dikunjungi para santri dari berbagai daerah. Keempat tokoh tersebut sangat berperan dalam berkembangnya Islam. Dari sinilah keturunan Syaikh Maulana banyak mendirikan pesantren di berbagai tempat. Semasa hidupnya, Syaikh Maulana Muhammad Syafei dikenal memiliki banyak karomah. Salah satu karomahnya adalah dapat berada di banyak tempat dalam satu waktu. Menurut penuturan para orang tua di Cijenuk yang diimami salat zhuhur oleh Sang Wali, sama halnya dengan daerah lain yang juga diimami salat Syaikh. Inilah yang kemudian membuat masyarakat menjulukinya sebagai Pangeran Raja Atas Angin. Gelar Pangeran Raja dikarenakan Syaikh turunan Kesultanan Cirebon, sementara Atas Angin dikarena dapat berpindah tempat dalam satu waktu. Kembali ke situs di atas. Setiap hari terdapat 100-200 peziarah datang. Pada malam Jumat Kliwon bisa mencapai peziarah. Bahkan pada 12-17 Rabiulawal, saat haul Sang Wali, jumlah peziarah mencapai puncaknya. Dalam se-minggu bisa mencapai 10 ribu peziarah datang dari berbagai daerah, termasuk dari pelosok Nusantara, seperti Batam, Aceh, Padang, Gorontalo dan bahkan Malaysia. Di sana, selain mendoakan Syaik Maulana, juga mengambil hikmah perjuangan syiarnya, sambil merasakan tenteramnya pemakaman di daerah yang masih hening, jauh dari kebisingan kota. Kegiatan yang dilakukan biasanya berzikir, bertawasul kepada Baginda Rasul, dan istigotsah yang dipandu oleh penjaga kunci makam. Para pecinta Sang Wali bersimpuh di kompleks pemakaman yang juga termasuk anak pertamanya, Raden Muhammad Kamaludin, dengan tembok setinggi 1,3 meteran. Di sebelah Barat berdiri gerbang berwarna putih. Sementara, di bagian timur terdapat dua bangunan majelis, berhadapan langsung dengan makam yang masing-masing berukuran 18 x 9 meter. Bangunan tersebut diperuntukkan bagi peziarah perempuan, dan 15 x 9 meter untuk laki-laki. Selain itu terdapat Masjid Al-Karomah, yang dibangun pada tahun 2000-an. Umumnya para peziarah datang berkelompok dengan kendaraan roda dua dan empat. Tidak sedikit juga perorangan. Melihat animo peziarah yang terus bertambah setiap waktu, belum didukung infrastruktur yang memadai. Jalan belum cukup dilalui oleh kendaraan ukuran besar. Masjid yang ada, juga tidak mampu menampung jamaah yang membludak pada saat haul. Keterbatasan dana pemeliharaan yang selama ini diambil dari sedekah peziarah dan uang pribadi pengelola sangat berimbas pada keasrian komplek. Simpulan Butuh perhatian dinas terkait agar semua permasalahan di atas dapat diatasi. Tempat yang sarat dengan sejarah itu sangat disayangkan jika dibiarkan tanpa dijaga kelestariannya. Sudah saatnya Pemerintah menyikapinya dengan cepat, agar jejak penyebaran Islam di Kab. Bandung Barat ini tidak sirna. Potensi wisata religi di atas perlahan akan meredup jika tidak segera dibenahi. Generasi akan datang hanya akan membaca kisah pejuang syiar Islam ini di buku-buku cerita legenda tanpa dapat melihat bukti fisiknya. Akhirnya, semoga hal ini segera ditindaklanjuti pihak berwenang. Gigihnya Syaikh Maulana Muhammad Syafei dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, haruslah dijawab oleh setiap anak bangsa dengan lebih semangat melestarikannya. Jika Pangeran Raja dapat berada di berbagai tempat dalam satu waktu, maka generasi berikutnya harus mampu berada dalam berbagai keadaan dalam satu tujuan. Melestarikan dan meneruskan perjuangan mulia Sang Wali. *** Narasumber Ii Prawirasuganda Tokoh Cipongkor Bandung Barat, Kuncen dan keturunan ke-9 Pangeran Raja Atas Angin. Sumber tulisan Profil Penulis Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak 1999. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. email [email protected]., [email protected] geusan ulun. wisatareligi bandungbarat Disclaimer Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku UU Pers, UU ITE, dan KUHP. Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel. Berita Terkait Terpopuler di Sejarah Sangpangeran berasal dari Kraton Kasepuhan karena dirinya adalah putra Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh [SS I]). Pada saat SS I meninggal dunia di tahun 1697, permaisurinya mengirim surat diplomatik ke Batavia dan merekomendasikan agar yang menjadi suksesor tahta adalah Pangeran Aria Cirebon karena ia dianggap lebih "kompeten." Sosok Pangeran Raja Atas Angin, jadi salah satu tokoh sentral dalam islamisasi di Jawa Barat, khususnya kawasan Priangan. Namun, saat ini tidak banyak yang mengenalnya. Sebagian yang datang ke makamnya yang berada di pelosok desa, justru datang untuk ngalap berkah atau mencari pesugihan. ***Saya paham betul, sebagian besar pembaca setia Mojok berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tapi, kali ini persilakan saya mengajak pembaca melipir ke Jawa Barat. Bukan pusat kota apalagi destinasi wisata hits, saya ingin membawa pembaca ke makam seorang tokoh yang sosoknya masih diperdebatkan sampai sekarang. Dari Gerbang Tol Padalarang, saya menempuh jarak sekitar 35 kilometer ke arah selatan ke sebuah desa bernama Cijenuk. Mungkin, para pembaca bertanya-tanya, “ngapain jauh-jauh ke pemakaman di kampung yang gak dikenal khalayak umum?” Tak banyak yang tahu kisahnyaSeperempat abad menjadi warga Bandung Raya, tokoh yang bersemayam di pemakaman umum ini kurang familier dari tokoh-tokoh Sunda lain. Pangeran Raja Atas Angin atau Eyang Dalem Cijenuk, nama yang bahkan nggak diketahui sejarahnya oleh generasi muda Desa Cijenuk. Padahal, beliau merupakan sosok penting di balik Islamisasi kawasan Priangan. Sebetulnya, sudah banyak media lokal maupun nasional mengulasnya. Namun, saya ingin mengajak pembaca Mojok melihat kondisi terkini petilasannya yang semakin tidak dikenali dari hari ke hari terutama Pamakaman Umum Situs Cagar Budaya Pangeran Raja Atas Angin. Noorciptaning Suciati/ di tengah pemukiman dan persawahan warga, area makam seluas 2,25 hektare ini rindang oleh pohon-pohon beringin berusia ratusan tahun. Selain sunyi, auranya angker selayaknya pemakaman. Di pintu masuk utama, suasana tampak asri karena dihiasi berbagai tanaman hias. Saat saya sowan ke para pengurus. Namanya Ii Prawira Suganda dan Mochammad Buldan. “Pangeran Raja Atas Angin nami aslina nyaeta Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i” Pangeran Raja Atas Angin mempunyai nama asli Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i“Sayang, sosok dan kisahnya hanya dituturkan para sesepuh di sini Cijenuk. Parahnya, akibat kurang penelitian dan budaya literasi, masyarakat desa juga tidak banyak yang tahu ceritanya. Apalagi anak muda,” lanjut Ii yang biasa dipanggil Apa atau Eyang oleh masyarakat setempat.“Dulu, juru kunci makam dipegang almarhum bapak saya. Tahun 80-an, karuhun sesepuh menemukan silsilah Pangeran Raja Atas Angin di Cirebon. Beliau putra Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin dari selir. Beliau Sultan Anom IV Sultan Kanoman dari tahun 1798 sampai 1803. Jadi, Pangeran Raja Atas Angin teh keturunan kesembilan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Pemangku silsilah Kesultanan Kanoman juga datang ke makam buat tirakat, memastikan siapa yang dimakamkan di sini,” terang Apa Sultan Ageng Tirtayasa?Apa Ii melanjutkan belum lama ini, ada orang datang ke pemakaman, ngakunya mantan pegawai Dirjen Haji. Ia mengatakan kalau Pangeran Raja Atas Angin teh asalnya dari Banten. Di dokumen yang beliau bawa, nama Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i ternyata saudara kandung Syekh Maulana Mansyur Cikaduen. “Katanya, mereka berdua putranya Abu al-Fath Abdul-Fattah Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Kesultanan Banten dari tahun 1651 hingga 1683 Masehi.”Entah dari Cirebon atau Banten, toh dua kesultanan tersebut memang bersaudara yang berasal dari satu leluhur, yakni Sunan Gunung Jati. Mungkin, konflik masa lampau yang bertahan hingga kini di Kanoman dan Kasepuhan mengakibatkan tumpang-tindih silsilah.“Yang penting, Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i punya jasa besar dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Beliau putra mahkota yang mau ikhlas berdakwah di bawah tekanan Belanda,” Apa Ali. Menurutnya jejak syiar Islamnya meliputi wilayah Pandeglang-Banten, Bogor, Surade-Sukabumi, Cianjur, Cisewu-Garut, dan terakhir di kawasan selatan Bandung Situs Cagar Budaya Pangeran Raja Atas Angin. Noorciptaning Suciati/ informasi, saat ini, daerah itu dikenal sebagai Kecamatan Cihampelas, Cililin, Cipongkor, Sindangkerta, Gununghalu, dan Rongga. Dari beberapa warga Cipongkor yang mengetahui sejarah, nama-nama tempat di kawasan itu berkaitan dengan syiar sang pangeran. Selain agama, peranannya membekas di sektor pendidikan, budaya, dan yang saya sebutkan di atas dijuluki “Kota Santri” dan “Pabrik Haji”. Hal itu dikarenakan terdapat banyak pesantren, terutama salaf yang menjadi tujuan santri Bandung Raya belajar agama. Masyarakat di kawasan itu pula paling rajin menunaikan ibadah haji. Ramai peziarahSaat berziarah, Anda gak hanya mendapati petilasan Pangeran Raja Atas Angin dan ribuan makam warga. Di sini juga bersemayam istri sang pangeran, yakni Nyimas Rangga Wuluh, beserta putri mereka, yaitu Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan. Ada pula tiga makam yang diyakini sebagai pendamping Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i dalam berdakwah. Mereka adalah Eyang Jaga Wulan, Eyang Jaga Raksa, dan Eyang Jaga dikelola swadaya dari kantong pribadi pengurus dan peziarah, fasilitasnya sudah jauh lebih baik dan nyaman. Terdapat ruang majelis di depan makam utama yang bisa menampung peziarah. Kompleks Pemakaman Umum Desa Cijenuk yang juga dikenal sebagai Situs Cagar Budaya Pangeran Raja Atas Angin memiliki infrastruktur lengkap yang dibangun berkala. Antara lain, masjid al-Karomah, balai perkumpulan, kantor pengurus yayasan, toilet, tempat wudhu, area parkir, dan warung. Gak hanya berkunjung setiap hari, peziarah dapat mengikuti pengajian mingguan yang diadakan setiap malam Senin dan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, puncak ziarah terjadi di bulan Rabiul Awwal. Acara haul tahunan atau dikenal sebagai tradisi “Muludan” itu dibimbing langsung para tokoh agama dan masyarakat terkemuka. Salah satunya oleh perwakilan sesepuh Kesultanan Kanoman tujuan ngalap berkah hingga pesugihanNamun, seperti makam keramat’ lainnya, petilasan Pangeran Raja Atas Angin pun tak lepas dari aksi nyeleneh para peziarahnya. Entah bagaimana, beliau dianggap sebagai tujuan “ngalap berkah” atau pesugihan bagi orang yang menginginkan materi duniawi secara al-Karomah Situs Cagar Budaya Pangeran Raja Atas Angin. Noorciptaning Suciati/ di musim Pemilu, banyak calon anggota dewan dan kepala daerah bersemedi atau bertapa agar tujuannya tercapai. “Seorang wali Allah SWT tidak akan menyesatkan orang-orang. Jika berziarah, cukup berdoa kepada Sang Khalik dan mendoakan sang wali karena kebaikannya dalam berdakwah,” kata Apa Cagar Budaya Pangeran Raja Atas Angin berlokasi di Desa Cijenuk, RT/RW 07/07, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. Bagi Anda yang ingin berkunjung, lebih baik menggunakan kendaraan pribadi karena sulitnya transportasi umum menuju desa. Tenang, meski berada di pelosok, lokasinya mudah ditemukan karena terdapat papan penunjuk jalan saat memasuki kawasan Alun-alun lupa menikmati bala-bala hangat dan secangkir kopi panas yang tersedia di warung depan masjid al-Karomah. Kudapan dan minuman tersebut sangat pas dengan udara sejuk Desa Cijenuk, apalagi jika Anda berziarah malam-malam atau kala musim Noorciptaning Suciati Editor Agung PurwandonoBACA JUGA Situs Patirtaan Ngawonggo Menghadirkan Wisata Gratis Sekaligus Jamuan Makan Sepuasnya dan reportas menarik lainnya di rubrik diperbarui pada 28 Januari 2023 oleh Agung PurwandonoCiremaitodaycom, Cirebon - Massa dari kubu Raden Heru Rusyamsyi Arianatareja atau Pangeran Kuda Putih yang berjumlah sekitar ratusan menggeruduk Keraton Kasepuhan Cirebon, Jumat (14/8/2020) kemarin. Mereka menolak Putera Mahkota PRA Luqman Zulkaedin dinobatkan menduduki kursi Sultan Sepuh XV.
Sehinggarnereka beranggapan (sebagaimana yang sering terbaca dalam Babad Cirebon), bahwa Pangeran Walangsungsang itu, diusir dari keraton Pakuan Pajajaran, akibat konflik agama dengan ayahnya. Sementara itu, Ki Gedeng Tapa, kakeknya Pangeran Walangsungsang yang menjadi penguasa wilayah Singapore (Cirebon), telah memukimkan seorang Guru Agama Islam mazhab Syafi'i: Syekh Datuk Kahfi.
Polres Cirebon, jawa Barat membenarkan jika Yana Supriatna, yang sebelumnya dilaporkan hilang di Cadas Pangeran telah ditemukan di Cirebon pada Kamis (18/11/2021). "Sudah ditemukan," kata Kasubag Humas Polres Sumedang, AKP Dedi, saat dihubungi via ponselnya, Kamis (18/11/2021) malam. Kata Dedi, Yana ditemukan dalam kondisi sehat.Cirebonadalah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
gdgg.